SAKOLA WANNO (Kristopel Bili)

Berawal dari sebuah mimpi sederhana yang prihatin pada dunia pendidikan dalam sebuah misi sederhana "memberantas kemiskinan dan buta huruf" yang juga dimana di era globalisasi seperti sekarang ini budaya menjadi ikut terseret dengan terkikisnya nilai nilai luhur yang telah di wariskan oleh para pendahulu kita (leluhur). Jangankan di daerah perkotaan daerah pinggiran bahkan daerah pelosok desa pun menjadi ikutan korban oleh perkembangan IPTEK. Norma-norma budaya kita yang dulu di pegang teguh oleh masyarakatnya, kini kian hari kian memudar dan merosot dari tua hingga anak-anak suku. Situasi ini menjadi keresahan saya sejak awal dan mungkin juga telah menjadi kegalauan kita bersama sebagai ingsan yang peduli dengan budaya dan pendidikan. Anak anak sebagai pewaris yang menjadi akar budaya tidak lagi banyak mendengar/menghormati nasehat orang tua,bertindak semaunya. Berjudi, alkohol,tauran dan narkoba telah menjadikan mereka kehilangan makna budaya mereka sendiri, kita seakan kehilangan jati diri sebagai manusia ciptaan yang berakal budi dan berbudaya. Rasa rasanya kondisi mental ini seperti virus yang menjalar ddan membutuhkan waktu cukup lama untuk sebuah praktek pemulihannya. Maka darinya kita butuh perjuangan keras untuk itu semua dan anak anak usia dinilah yang tepat untuk di bekali dengan pendidikan sebagai akar dari budaya itu sendiri.
Sebuah dusun kecil utara kota Waikabubak Kab. Sumba Barat NTT tepatnya di Kampung Panggese Tobbu Desa Wanokaza Kec. Tanarighu tempat pertama kali ide dan gagasan SAKOLA WANNO ini muncul dan berjalan sederhana.
Dimana anak-anak suku di sana diajarkan ilmu membaca,menulis dan berhitung. Ada banyak buta huruf disana, bahkan tidak juga sedikit anak anak seusia SD kelas 3 dan 4 belum mahir membaca tulis apa lagi berhitung dan ini cukup memprihatinkan. Menurutku: kondisi ini bukanlah kesalahan guru di ruang kelas, ini mungkin boleh dikatakan hanyalah persoalan kondisi lingkungan dan keluarga (orang tua) yang kurang mendidik dalam hal belajar. Anak anak suku bebas lepas bermain sesuka hati tanpa ada fungsi kontrol dari orang tuanya,maklum namanya juga kehidupan di pedalaman dan itulah situasi yang sesungguhnya. Belum lagi fasilitas pendidikan yang serba terbatas di sekolah, tenaga guru yangvterbatas dan lain sebagainya. Namanya juga di kampung semua serba minim dan sangat sulit. Bagiku situasi seperti ini cukup memprihatinkan dan kita tidak dapat tinggal diam lalu berpangku tangan dan acu tak acu pada situasi. Mereka butuh sentuhan, mereka butuh perhatian dari kita yang peduli.
Suatu sore dari dalam sebuah renungan panjang (oktober 2017 s/d okrober 2019) dengan segala keterbatasan saya memberanikan diri mengambil sikap untuk memulai perjuangan ini dengan mengorbitkan sebuah ide gagasan kecil dari sebuah inovasi sederhana di dunia pendidikan bagi anak anak suku di Wanno Kaza dengan mengumpulkan beberapa anak (kurang lebih belasan) untuk memulai belajar di emperan rumah warga seiring berjalannya waktu selama sebulan penuh saya memberanikan diri membentuk sebuah komunitas kecil yang bergerak di bidang pendidikan nonformal berbasis budaya yang kami namai "SAKOLA WANNO" seperti yang telah di sebutkan sebelumnya diatas serta nekat membangun bangunan tempat belajar mengajar dengan segala keterbatasan. Sekolah ini mungkin merupakan sekolah nonformal pertama yang ada di Indonesia ini. Terdengar sedikit aneh dan unik, dimana tempat belajarnya sederhana dengan mengambil model bangunan rumah beratap ilalang layaknya rumah suku Zuba (sumba) yang di kelilingi oleh "kangali" atau lazim di dibilang pagar batu. Tenaga pengajar dan anak didik berpakaian sumba (kain dan sarung) dengan warna kebanggaan hitam sebagai simbol kesederhanaan,semangat dan kesetaraan tanpa mengenal strata kehidupan sosial suku Zuba. Semuanya sama dalam proses belajar di Sakola Wanno. Juga ada sebuah Menhir tiang batu sebagai tempat penyembahan leluhur setempat yang di sebut "Marapu Wanno" dan "Marapu Nbin 'na" yang di yakini masyarakat sebagai pelindung kampung dalam hal ini "Sakola Wanno". Jadi bila di tinjau dari sudut pandang dunia pendidikan, sesungguhnya sekolah nonformal berbasis budaya ini cukup unik dan menarik banyak perhatian publiknya di pulau Sumba NTT. Selain terkesan sederhana, sekola wanno ini cukup memukau.
Sakola Wanno diambil dari lafalan bahasa warga setempat: "Sakola" artinya "Sekolah" dan "Wanno" diartikan sebagai "Kampung". Jadi secara utuh dapat di arti luruskan Sakola Wanno adalah Sekolah Kampung. Sekolah yang di peruntukan bagi anak anak suku Zuba pedalaman yang tertinggal di lini pendidikan.
Dalam Sakola Wanno selain di ajarkan baca, tulis dan berhitung, juga di ajarkan pelajaran umum seperti mengenal dan praktek sederhana memasak beberapa masakan tradisional khas suku Zuba. Ada permainan tradisional,bermain musik tradisional, tarian tradisional dan dongeng rakyat. Bahkan ada pula belajar membaca ramalan usus ayam yang menjadi jawaban leluhur dari sebuah permohonan. Sakolah Wanno rencananya akan di loundching tahun depan 2019 tepatnya pada tanggal 25 januari sebagai wujud penghormatan pada seorang tokoh pendidikan dan kebudayaan komunitas Sakola Wanno ( Dr. Drs. Keba Moto, M. S). Salam Budaya....


Komentar
Posting Komentar